Oleh : Ayu Nafilah
Tafsirul Filiyah (mahasiswi STEI SEBI)
Perkembangan asuransi syariah di
Indonesia baru ada pada akhir tahun 1994
yaitu dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994 dengan diresmikannya PT.
Asuransi Takaful Keluarga yang melayani asuransi jiwa
(life) melalui Surat
Keputusan Menteri Keuangan
Nomor Kep-385/KMK.017/1994.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1995 beroperasilah Asuransi Takaful Umum yang
melayani asuransi umum (general).
Pertumbuhan perusahaan asuransi
syariah cukup fantastis yaitu pada enam tahun terakhir dari 5 (lima) perusahaan
asuransi pada tahun 2002 menjadi 37 (tiga puluh tujuh) perusahaan, yang terdiri
dari 15 (lima belas) perusahaan asuransi jiwa, 19 (sembilan belas) perusahaan
asuransi kerugian dan 3 (tiga) perusahaan reasuransi.
Pertumbuhan asuransi yang begitu
pesat tersebut bukan berarti tidak ada
masalah di dalamnya. di antaranya
adalah Penerapan Tabarru ' dalam
asuransi syariah terus menghadapi berbagai masalah syari'ah yang diperdebatkan,
yaitu isu menerapkan konsep tabarru’ dalam takaful dan isu surplus underwriting
dari dana tabarru '.
Perbedaan antara asuransi
konvensional dan asuransi syariah terletak pada konsep dasar dan kontrak yang
dipekerjakan. Dalam asuransi konvensional adanya gharar yang timbul karena
ketidakpastian dalam resiko. Selain itu adanya unsur maysir. Maysir adalah
bentuk gharar dan zero sum game yang dilarang oleh Syariah, sebagai keuntungan
atau kerugian. Dengan kata lain, keuntungan dari satu pihak ditentukan oleh
hilangnya pihak lain. Sehingga keberadaan asuransi konvensional ini haram.
Dengan itu, konsep takaful
diperkenalkan sehingga menghilangkan apa apa yang haram dalam asuransi
konvensional. Hal ini dicapai dengan mengubah kontrak asuransi dari kontrak
pertukaran dengan konsep tolong menoolong (tabarru ').
Tabarru 'berarti sumbangan sukarela yang
diberikan oleh orang selama hidupnya untuk orang lain, tanpa mengharapkan imbalan
apapun yang menghasilkan transfer kepemilikan dari pemberi dana kepada penerima
dana. Dalam hal ini, konsep tabarru ' menghilangkan unsur-unsur non-halal di
asuransi (Adawiyah, 2010).
Prinsip saling membantu disimpulkan
dari ayat Al-Qur'an yang berbunyi: dan tolong menolonglah kamu dalam
kebaikan dan taqwa… (Al-Ma'idah 5: 2).
Melalui konsep tabaru’, masing-masing
peserta menyumbangkan sejumlah jumlah kontribusi untuk saling membantu dan
melindungi satu sama lain dalam peristiwa kerugian. Dana tersebut ditempatkan
ke dana risiko peserta dan diperlakukan
sebagai "kepemilikan umum" dan akan digunakan ketika peserta yang
lain mendapatkan kerugian.
Dalam prakteknya saat ini, tujuan
tersebut tidak sekedar saling memberikan perlindungan saja. tetapi juga telah berkembang
yaitu adanya investasi dan tabungan. pengelola membagi dana menjadi dua dana
terpisah: Dana Risiko Peserta (PRF) dan Peserta Dana investasi (PIF).
Posisi perusahaan takaful dalam
konteks ini menjadi agen atau manajer investasi dari para peserta. Kontrak yang
mendasari adalah kontrak mudharabah dan
kontrak wakalah.
1. Model
Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama
dimana satu pihak menyediakan modal sementara yang lain menjadi pengelola. Jika
ada keuntungan akan dibagi berdasarkan kesepakatan. Jika ada Kerugian keuangan
akan ditanggung sepenuhnya oleh penyedia modal (rabb maal) sedangkan dana
manager (mudharib) akan menanggung kerugian usaha dan tenaga kerja.
Dalam kaitan dengan perusahaan
asuransi, penyedia modal dikenal sebagai peserta sementara fund manager adalah
perusahaan asuransi (pengelola). Dalam kontrak ini, pengelola akan menerima
kontribusi dari para peserta. Kontribusi dianggap sebagai modal (ra'sul maal)
yang akan dikelola dan diinvestasikan secara syariah. Kontrak menetapkan bahwa
setiap keuntungan dari pengelolaan dana tersebut akan dibagi antara operator
takaful dan peserta. Jika ada Surplus underwriting, maka akan didistribusikan
kepada para peserta karena bukan bagian dari keuntungan.
Model mudharabah seperti ini
memungkinkan perusahaan asuransi hanya
menikmati pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati, dan tidak mendapat
surplus underwriting. surplus
underwriting dalam model ini harus didistribusikan sepenuhnya kepada peserta
karena merupakan bagian dari prinsip, dan bukan laba. Namun, kondisi ini tidak
disukai oleh perusahaan asuransi (pengelola).
Maka dari itu perusahaan asuransi
membangun model mudharabah dengan memodifikasi dimana surplus underwriting
adalah ditafsirkan sebagai "keuntungan mudharabah" untuk dibagi
antara peserta dan operator takaful.
2. wakalah
Model
Dalam kasus wakalah, itu adalah
kontrak agen dimana pihak mengamanatkan pihak lain sebagai agennya untuk
melakukan tugas tertentu. Pengelola disini sebagai (Muwakkil) dikenal sebagai
peserta sementara agen (wakil) dianggap sebagai perusahaan asuransi
(pengelola).
Peserta menunjuk pengelola sebagai agen untuk mengelola dana tersebut.
Sebagai kompensasi, perusahaan berhak
untuk mencapai biaya yang telah ditentukan atas kesepakatan.
Pengelola akan menginvestasikannya
sesuai syariah. Setiap keuntungan atau surplus akan sepenuhnya didistribusikan
kepada peserta.
Dalam Penerapan Tabarru 'untuk
asuransi syariah tidak adanya berbagi surplus dalam model Wakalah. Oleh karena
itu, perusahaan takaful kemudian memodifikasi konsep wakalah. Dalam model ini,
perusahaan takaful berhak untuk mendapatkan atas surplus yang disebut sebagai
Biaya kinerja.
Tabarru adalah konsep sangat mulia
dalam Islam, Namun masih menjadi bahan perdebatan yang belum terselesaika, masalah
yang timbul dari kenyataan bahwa kontribusi yang dibayarkan oleh peserta tidak
murni.
Sebaliknya juga, donasi dibuat
bersyarat: setiap peserta di takaful harus menyumbangkan jumlah tertentu
sehingga dapat menutupi kerugian keuangan yang tak terduga di masa depan. Itu
kontribusi (sumbangan) dikenakan untuk mendapatkan kompensasi masa depan.
Jumlah donasi, di samping itu, ditentukan oleh tingkat probabilitas risiko.
Tingkat donasi disesuaikan sesuai dengan peserta "risiko dimana semakin
tinggi eksposur risiko, semakin tinggi adalah kontribusi yang dibebankan. Hal
ini menimbulkan masalah syariah antara para ulama sebagai konsep tabarru
'seharusnya diselesaikan secara sukarela bukan atas dasar wajib.
Dari penjelasan di atas, di temukan
bahwa ada masalah utama dalam penerapan konsep tabarru dalam asuransi syariah terletak pada aspek
bahwa tabarru diterapkan 'berasal dari sifat asli tabarru 'di mana konsep ini
disahkan oleh Pemberi Hukum. Banyak pandangan bahwa tabarru 'seharusnya diselesaikan
secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Dikatakan bahwa jika peserta berhak mengajukan
klaim sebagai kompensasi dari kontribusinya yang dibayarkan, itu akan mengubah
seluruh struktur konsep takaful ke kontrak bilateral (mu'awadhah) dimana uang
dalam bentuk sumbangan ditukar dengan uang dalam bentuk klaim. Dalam hal ini,
isu gharar dan maysir, seperti yang ada di asuransi konvensional, tidak jadi
pandangan utama. Sebagaimana kita ketahui bahwa surplus adalah hak eksklusif
peserta sementara lainnya ditegakkan bahwa peserta telah menyumbangkan
kontribusi sebagai tabarru', maka dalam hal ini tabaru’ dalam asuransi syariah kehilangan
esensi yang memiliki arti tolong menolong.